- by Tsabithah Salsabilla Oklid
- Jul 27, 2024
Sindrom Stockholm, sebuah istilah yang mungkin sudah tidak asing lagi bagi banyak orang, mengacu pada fenomena psikologis yang unik di mana korban perampokan atau penyanderaan mengembangkan simpati, empati, bahkan rasa cinta terhadap pelaku kejahatan yang mereka hadapi. Fenomena ini pertama kali dikenal setelah peristiwa perampokan bank di Stockholm pada tahun 1973, di mana para sandera yang ditahan selama enam hari akhirnya menunjukkan sikap simpati yang tidak terduga terhadap para perampok.
Sindrom Stockholm pertama kali secara resmi diakui dan dinamai oleh kriminolog Swedia Nils Bejerot setelah insiden dramatis di Bank Kredit di Stockholm. Pada tanggal 23 Agustus 1973, dua perampok bank, Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson, menahan empat orang sebagai sandera selama enam hari di dalam bank. Selama masa penahanan mereka, para sandera mengalami kondisi psikologis yang kompleks dan kontradiktif; meskipun terancam dan terbatas, mereka mulai mengembangkan perasaan positif terhadap perampok mereka.
Psikolog mengidentifikasi beberapa faktor yang dapat menjelaskan terjadinya Sindrom Stockholm. Salah satunya adalah kondisi di mana korban merasa terisolasi dan terancam, dengan sedikit harapan untuk dapat melarikan diri. Dalam keadaan tersebut, korban cenderung mencari cara untuk mempertahankan kontrol emosional mereka. Dalam kasus Sindrom Stockholm, mengembangkan simpati atau empati terhadap pelaku dapat menjadi strategi psikologis yang memungkinkan korban untuk mengatasi rasa takut dan kecemasan mereka.
Selain itu, proses ini juga dapat diperkuat oleh upaya pelaku untuk menunjukkan "kebaikan" atau "perhatian" terhadap korban, meskipun dalam konteks yang sangat tidak biasa. Hal ini dapat memicu respons psikologis yang rumit di mana korban mulai memandang pelaku sebagai figur yang tidak sepenuhnya jahat atau berbahaya.
Kasus-kasus lain dari Sindrom Stockholm telah terjadi di seluruh dunia sejak insiden awal di Stockholm. Misalnya, pada kasus TWA Flight 847 pada tahun 1985 di mana penumpang menjadi sandera, beberapa penumpang dilaporkan mengembangkan simpati terhadap para pembajak pesawat.
Studi lebih lanjut tentang Sindrom Stockholm menunjukkan bahwa fenomena ini tidak hanya mempengaruhi korban perampokan atau penyanderaan, tetapi juga dapat terjadi dalam situasi yang melibatkan pengaruh kuat atau ketergantungan emosional lainnya, seperti dalam hubungan antara korban pelecehan domestik dan pelakunya.
Sindrom Stockholm tetap menjadi studi yang menarik dalam bidang psikologi klinis dan kriminologi, menyoroti kompleksitas perilaku manusia di bawah stres ekstrem dan ancaman. Meskipun kontroversial dan sulit dipahami sepenuhnya, fenomena ini mengajarkan kita banyak tentang respons psikologis terhadap situasi-situasi yang mengancam dan tekanan mental yang luar biasa. Dalam situasi perampokan atau penyanderaan, apa yang mungkin terlihat sebagai sikap yang tidak masuk akal dari sudut pandang luar, dapat dimaklumi sebagai mekanisme bertahan diri yang kompleks dari sudut pandang psikologis.
Melalui pemahaman yang lebih dalam tentang Sindrom Stockholm, kita dapat terus meningkatkan upaya pencegahan dan intervensi yang efektif dalam situasi krisis serupa di masa depan.